Kebijakan
pemerintah untuk menaikan Harga BBM akhirnya disahkan juga. Dengan dalih
penghematan APBN,pemerintah tega menjadikan rakyat sebagai korban. Betapa
tidak, sebelum kebijakan itu disahkan, harga-harga kebutuhan pokok sudah lebih
dulu naik.
Sebagai
‘pelipur lara’, pemerintah mengucurkan dana BLSM (Bantuan Langsung Sementrara
Masyarakat) sebesar Rp150.000 per kepala keluarga. Pemerintah berharap, dampak
naiknya harga BBM bisa diredam dengan BLSM, Raskin, Bantuan Siswa Miskin,
Program Keluarga Harapan dan program infrastruktur dasar khususnya di pedesaan.
Ternyata,
BLSM bukannya memberikan solusi, malah menimbulkan permasalahan yang baru.
Pertama, Penyalurannya dinilai tidak tepat sasaran. Tidak tepat sasaran diduga
karena sistem data yang kurang akurat. Banyak penerima yang ternyata sudah
meninggal, atau bahkan tidak terkategori miskin. Sehingga tidak tepat sasaran
kepada keluarga yang membutuhkan yang benar-benar miskin.
Kedua,
Kebijakan BLSM bernuansa politis. Kebijakan mengucurkandana langsung kepada
masyarakat sanagt rentan ditunggangi kepentingan politik tertentu. Bahkan bisa
jadi sebagai bentuk ‘suap’ kepada rakyat untuk mendapatkan citra yang positif.
Apalagi dalam menghadapi pemliu 2014.
Ketiga,
BLSM tak memberikan solusi, tidak bisa mencegah inflasi. Gubernur Bank
Indonesia, Agus Martowardojo, menjelaskan pemberian kompensasi Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat (BLSM) atas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
bersubsidi tidak akan meredam dampak inflasi, yang bisa muncul dari kenaikan
harga BBM.(vivanews.com, 20/06)
Keempat,
berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat meski skalanya terbatas. Salah
satunya seperti yang terjadi di Purewkerto, Anggota DPRD Banyumas Yoga Sugama
mengungkapkan konflik sosial mulai terjadi dalam pelaksanaan penyaluran BLSM.
Kondisi desa yang tadinya adem ayem, sekarang mulai menghangat, karena
banyaknya protes warga yang tidak memperoleh BLSM. (Metrotvnews.com, 27/04).
Pemerintah
seharusnya belajar dar kegagalan program BLT yang pernah dikocorkan beberapa
tahun lalu. Banyak pihak menilai bahwa sistem bantuan langsung sangat tidak
efektif dan tidak mendidik dalam memecahkan masalah kemiskinan. BLSM dengan
sistem yang sama, akan mendulang hasil yang sama.
Lihat
saja, besaran BLSM pun minim dibandingkan naiknya biaya yang harus ditanggung.
Begitu harga BBM naik rata-rata 33,3 % (premium naik 44,4 % dan solar naik 22,3
%), ongkos transportasi pun naik rata-rata 20 – 35 persen. Naiknya ongkos
transportasi dibarengi oleh lonjakan harga-harga kebutuhan pokok dan kebutuhan
sehari-hari. BLSM kiranya lebih pantas disebut sebagai Bantuan Langsung
Sengsarakan Masyarakat.
Lebih
dari itu, meski harga BBM dinaikkan namun subsidi tetap saja dalam angka Rp 120
triliun - akibat konsumsi meningkat. Lalu ditambah BLSM menjadi sekitaran Rp
180 triliun. Rupanya kebijakan member subsidi hanyalah akal-akalan. Kenaikan
harga BBM tidak menghapus subsidi. Peluang pencurian dan korupsi serta
penyelundupan BBM menjadi hal yang dapat dilestarikan dan dilanjutkan.
Kita
harus mempertanyakan, sebenarnya ada apa dibalik kebijakan ini? Benarkah
kebijakan BLSM ini adalah kebijakan yang pro rakyat? Ataukah kebijakan yang
sebenarnya tidak pro rakyat bahkan mengandung kebohongan publik?.
Dengan
riuhnya kontraversi BBM dan BLSM, kebanyakan orang lupa bahwa pemeliharaan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan kewajiban Pemerintah sesuai dengan
Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. BLSM adalah hak
masyarakat, bukan kebaikan hati atau sogokan politik, tapi tanggung-jawab
Pemerintah (pasal 4). Kewajiban pemerintah untuk melakukan Catur Program
Kesejahteraan Sosial, yakni rehabilitasi, pemberdayaan, perlindungan dan
jaminan sosial (pasal 6). Jadi, kebijakan semacam ini seharusnya bukan
kebijakan pelipur lara, tapi merupakan kebijakan yang wajib dilakukan oleh
pemerintah kepada rakyatnya.
Selama
ini, pemerintah selalu mengklaim bahwa kebijakannya disetujui oleh rakyat,
karena para wakil rakyat di DPR MPR mnyetujuinya. Padahal kebijakan kenaikan
harga BBM itu bertentangan dengan aspirasi mayoritas masyarakat yang tidak
ingin harga BBM dinaikkan. Hal itu terungkap dalam hasil survey Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) terhadap 1200 responden yang dilakukan pada 18 Juni, selepas
rapat paripurna pengesahan RAPBN-P 2013 di DPR. Hasil survey itu menunjukkan,
79,21 persen tak setuju kenaikan harga BBM. Sebanyak 19,1 persen tidak tahu dan
hanya 1,69 persen yang setuju kenaikan harga BBM (Republika, 24/6). Tapi tetap
saja, pemerintah mengklaim bahwa kenaikan harga BBM itu adalah demi rakyat,
sebab disetujui oleh para wakil rakyat.
Pemerintah
pun lebih sayang kepada para kapitalis asing daripada kepada rakyat. Pemerintah
lebih senang membayar hutang kepada asing daripada memberikan kesejahteraaan
epada rakyatnya. Ternyata hal ini memang sesuai dengan skenario Memorandum of
Economic dan Financial Policies atau LoI dengan IMF tahun 2000. Juga untuk
memenuhi apa yang disyaratkan bagi pemberian utang Bank Dunia seperti tercantum
dalam Indonesia Country Assistance Strategy tahun 2001.
Semua
itu agar sempurna liberalisasi migas untuk kepentingan bisnis asing. Hal itu
ditegaskan oleh Purnomo Yusgiantoro, menteri ESDM kala itu, “Liberalisasi
sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi
dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga
BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena
disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003).
Jelaslah
bahwa bahwa keputusan kenaikan harga BBM berikut kebijakan BLSM tak sesuai
aspirasi rakkyat, tapi sesuai dengan aspirasi para politisi partai
pengusungnya. hal ini akibat sistem demokrasi dan kapitalisme yang melahirkan
kebijakan penguasa dan politisi tidak demi rakyat dan mengabaikan aspirasi
rakyat. Kebijakan lebih demi kepentingan elit, pemilik modal, dan kapitalis
asing.
Sungguh
beda dengan sistem Islam dengan syariahnya dalam bingkai sistem khilafah
Islamiyah. Negara dan penguasa berkewajiban memelihara kepentingan rakyat dan
menjamin kehidupan rakyat tanpa diskriminasi apapun. Seluruh rakyat berhak
dapat pelayanan negara. Sementara kekayaan umum seperti migas, akan tetap jadi
milik umum. Negara mengelolanya mewakili rakyat dan seluruh hasilnya dikembalikan
kepada rakyat untuk kesejahteraan mereka.
Sumber:
www.suara-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar